HBI, KAPUAS HULU || Sungai Kapuas yang dulu menjadi kebanggaan Kalimantan Barat kini menjerit. Di wilayah Semitau Hilir – Nanga Suhaid, ratusan lanting penambangan emas tanpa izin (PETI) berjejer rapat di atas permukaan air. Pemandangan yang dulu indah kini berubah menjadi lautan rakit mesin dan lumpur beracun, seolah sungai telah menjadi milik pribadi.
“Kami warga asli Kalbar hidup dari sungai ini! Sekarang airnya keruh, ikan mati, anak-anak pun tak bisa mandi di sini,” ucap seorang warga dengan nada kecewa. Ia menyebut, aktivitas tambang ilegal itu telah berlangsung lama tanpa penindakan tegas dari pihak berwenang.
Alasan klasik para pelaku PETI, yakni “mencari makan”, dinilai hanya tameng untuk menutupi bisnis besar. “Kalau benar cuma cari makan, dari mana bisa bangun lanting dengan modal puluhan bahkan ratusan juta rupiah? Itu bukan rakyat kecil, itu bisnis rakus yang merusak sungai,” kata warga lainnya tegas.
Lebih ironis lagi, warga menilai aparat penegak hukum (APH) hanya bergerak ketika isu sudah viral di media sosial. “APH jangan hanya seremoni! Setelah viral baru razia, tapi katanya tidak ditemukan. Itu lagu lama! Seolah kami buta, seolah mata kami salah lihat,” ujar seorang ibu dengan nada geram, menyoroti lemahnya tindakan nyata di lapangan.
Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba sudah jelas melarang penambangan tanpa izin. Tapi di Suhaid, hukum seolah lumpuh. Mesin-mesin penyedot emas masih beroperasi siang malam, dan air sungai terus berubah warna, menandakan kerusakan yang semakin dalam.
Warga menuntut penegakan hukum yang adil, bukan hanya gertakan di atas kertas. Mereka berharap pemerintah daerah dan aparat benar-benar turun ke lapangan, bukan sekadar membuat laporan formal tanpa hasil. “Kalau hukum hanya tajam ke rakyat kecil tapi tumpul ke pelaku besar, maka sungai ini akan mati bersama keadilan,” ujar warga lain dengan nada getir.
Kini, Sungai Kapuas bukan sekadar tercemar — tapi sedang menuju kehancuran. Warga mengingatkan, jika alam terus dikhianati, dampaknya tak bisa dibeli dengan uang. “Kalau kita bisa jaga alam, alam akan jaga kita. Tapi kalau kita biarkan rusak, alam akan membalas — dan balasannya pasti tidak pandang bulu,” pungkas warga.
Jurnalis / Publis : TIM MEDIA

